Cianjur bukan hanya tentang beras dan pemandangan alamnya yang memukau. Kabupaten ini menyimpan sebuah babak penting dalam sejarah perlawanan Nusantara terhadap kolonialisme. Di balik suasana kotanya yang tenang, tersembunyi makam-makam raja dan sultan dari berbagai penjuru Indonesia yang diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Artikel ini akan mengajak Anda, generasi muda, untuk menyusuri jejak sejarah yang menyentuh ini dan memahami strategi politik “pecah belah” yang dilakukan penjajah.
Pada abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda memiliki kebijakan untuk mengasingkan para pemimpin lokal yang dinilai membahayakan kekuasaan mereka. Cianjur, yang saat itu jauh dari pusat-pusat kekuasaan, menjadi salah satu lokasi yang sering digunakan untuk memisahkan para sultan dan pangeran ini dari rakyat serta tanah kelahiran mereka. Tindakan ini bukan hanya untuk menetralisir ancaman militer, tetapi juga untuk memutus kharisma dan pengaruh spiritual yang mereka miliki.
Meskipun berada di pengasingan, keberadaan mereka meninggalkan warisan sejarah yang patut kita kenang. Dengan mengunjungi makam-makam ini, kita bisa belajar tentang keteguhan hati dan harga diri bangsa kita di masa lalu.
Berikut ini adalah beberapa tokoh penting yang dimakamkan di Cianjur.
Sultan Hajuddin adalah penguasa Kesultanan Jailolo yang dibuang ke Cianjur sekitar tahun 1832 . Pemerintah kolonial Belanda sangat khawatir bahwa kepulangannya ke Maluku akan membangkitkan kembali semangat perlawanan dan menguatkan kesultanan tersebut . Oleh karena itu, meski sebagian rombongannya diizinkan pulang pada 1844, Sultan Hajuddin dipaksa untuk tetap tinggal dalam pengasingan hingga wafat .
Sejarah perlawanan dari Bengkulu juga memiliki tokohnya yang berakhir di Cianjur. Baginda Raja Setiawan, yang merupakan Raja Bengkulu ke-15, dibuang dan wafat di Cianjur pada tahun 1850 .
Pangeran Hidayatullah adalah salah satu figura sentral dalam Perang Banjar (1859-1905). Perlawanannya yang gigih membuat Belanda kesulitan, dan akhirnya mereka menggunakan siasat tipu muslihat untuk menangkap dan mengasingkannya.
Beliau adalah penguasa dari Kesultanan Paserbalengkong di Kalimantan Timur yang juga menjadi korban politik buangannya pemerintah kolonial .
Selain raja-raja buangan, Cianjur juga memiliki situs makam kuno yang menarik secara historis. Di Kampung Nyangkoek (kini Baduga), Desa Ciandam, Kecamatan Mande, terdapat makam yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Embah Hakekat . Menurut sumber sejarah, sosok ini dipercaya merupakan Prabu Rajamandala atau Prabu Janglar Birawangsa, seorang raja dari Kerajaan Jampang Manggung yang terkenal akan kebijaksanaannya . Kelak, situs ini juga dikenal dengan nama Eyang Hakekat Nur Islam .
Sebagai generasi muda, kita dapat mengambil peran aktif untuk menghidupkan kembali sejarah ini. Berikut adalah beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan:
Makam-makam raja buangan di Cianjur ini adalah lebih dari sekadar tumpukan batu nisan. Mereka adalah monumen bisu yang bersaksi tentang harga diri bangsa Nusantara. Setiap jengkal tanah pengasingannya adalah bukti bahwa perlawanan terhadap penjajahan terjadi di seluruh pelosok Indonesia.
Dengan mengenal dan mempelajari sejarah ini, kita tidak hanya menghormati jasa para pendahulu, tetapi juga mengambil pelajaran berharga tentang keteguhan, strategi, dan arti sebuah perjuangan. Ayo, jadikan sejarah sebagai kompas untuk membangun masa depan yang lebih baik.