
Di pesisir utara Jawa, tepatnya di Rembang, ada sebuah kota kecil yang menyimpan jejak sejarah panjang dan keindahan yang menawan. Namanya Lasem. Kota ini sering disebut “Tiongkok Kecil di Jawa” karena hubungan erat antara masyarakat Jawa dan Tionghoa yang telah terjalin sejak ratusan tahun lalu. Dari pertemuan dua budaya inilah lahir sebuah karya seni luar biasa: Batik Lasem. Batik ini dikenal dengan warna merah yang mencolok, motif yang kaya makna, dan kisah harmonis tentang keberagaman yang hidup dalam keseharian penduduknya.
Lasem sejak dahulu menjadi pelabuhan penting di jalur perdagangan Nusantara. Para pedagang Tionghoa datang membawa sutra, keramik, dan rempah, sementara penduduk lokal menawarkan hasil bumi dan kain tenun. Pertemuan ekonomi itu lambat laun berkembang menjadi pertukaran budaya yang mendalam.
Sekitar abad ke-15, ketika Laksamana Cheng Ho berlayar ke Jawa, beberapa awak kapalnya memilih menetap di Lasem. Mereka berbaur dengan masyarakat setempat dan membangun permukiman yang kelak menjadi cikal bakal kampung Tionghoa di sana. Dari perpaduan budaya inilah, tradisi membatik yang sebelumnya berkembang di pedalaman Jawa mulai bersentuhan dengan estetika Tionghoa yang penuh warna dan simbolisme.
Batik Lasem kemudian lahir sebagai hasil dari proses panjang akulturasi itu. Warna merah terang yang menjadi ciri khasnya dipercaya berasal dari teknik pewarnaan tradisional Tionghoa yang menggunakan bahan alami seperti akar mengkudu. Warna tersebut melambangkan keberanian, keberuntungan, dan kebahagiaan—makna yang sangat dihormati dalam budaya Tionghoa.
Salah satu hal yang membuat Batik Lasem begitu istimewa adalah motifnya yang memadukan unsur-unsur budaya Jawa dan Tionghoa secara harmonis. Motif klasik seperti Lokcan, Burung Hong, Naga, dan Bunga Teratai menjadi simbol-simbol keberuntungan dan kemakmuran. Namun di sisi lain, ada pula motif lokal seperti Watu Pecah, Gunung Ringgit, dan Sekar Jagad yang merefleksikan alam dan filosofi Jawa.
Perpaduan ini menciptakan bahasa visual yang unik. Dalam satu lembar kain, kita bisa melihat naga yang berputar di antara bunga-bunga melati, atau burung hong yang terbang di atas ombak laut utara. Warna merah Lasem yang khas kemudian dipadukan dengan biru tua, coklat soga, dan hitam pekat, menghasilkan harmoni warna yang kuat sekaligus elegan.
Para pembatik Lasem terkenal sangat teliti dan berjiwa seni tinggi. Mereka tidak sekadar meniru pola lama, tetapi juga menciptakan variasi baru dengan sentuhan pribadi. Setiap motif dikerjakan dengan tangan menggunakan canting halus, sementara pewarnaan dilakukan berlapis-lapis agar hasilnya tajam dan tidak mudah pudar. Proses yang memakan waktu berhari-hari ini menjadikan setiap lembar Batik Lasem memiliki karakter dan jiwa tersendiri.
Batik Lasem bukan hanya indah secara visual, tetapi juga sarat makna simbolik. Bagi masyarakat Tionghoa, motif naga dan burung hong melambangkan keseimbangan antara kekuatan maskulin dan feminin, atau harmoni antara langit dan bumi. Sementara itu, motif bunga teratai menggambarkan kesucian hati dan semangat untuk terus tumbuh meskipun hidup di lingkungan yang penuh tantangan.
Dari sisi budaya Jawa, Batik Lasem juga menyimpan pesan mendalam. Motif awan dan ombak menggambarkan perjalanan hidup yang dinamis, sedangkan motif gunung dan tumbuhan mencerminkan keteguhan hati dan ketenangan jiwa. Di tangan para pembatik Lasem, simbol-simbol ini berpadu tanpa batas etnis, menciptakan kisah lintas budaya yang menegaskan bahwa keindahan lahir dari keberagaman.
Berjalan di gang-gang sempit Lasem, kita akan menemukan rumah-rumah tua bergaya campuran Jawa dan Tionghoa. Banyak di antaranya masih dihuni oleh keturunan pembatik generasi awal. Suara canting yang meneteskan malam, aroma kain yang dijemur di halaman, serta percakapan lembut dalam dua bahasa—semuanya menghadirkan suasana yang damai dan akrab.
Salah satu sentra batik yang terkenal adalah Kampoeng Batik Gedongmulyo dan Karangturi. Di sana, pengunjung bisa melihat langsung proses pembuatan batik, mulai dari menggambar pola hingga pewarnaan. Harga batik Lasem bervariasi, mulai dari sekitar Rp300.000 hingga lebih dari Rp2.000.000, tergantung tingkat kerumitan dan kualitas pewarna alami yang digunakan.
Para pembatik di Lasem tidak hanya menjual kain, tetapi juga menceritakan warisan leluhur yang mereka jaga. Banyak di antara mereka masih menggunakan resep pewarna alami yang diwariskan turun-temurun. Beberapa pengrajin bahkan menolak pewarna sintetis, karena mereka percaya bahwa warna alami memberikan “jiwa” pada kain.
Dalam dua dekade terakhir, Batik Lasem mulai mendapat perhatian luas, baik di dalam maupun luar negeri. Para pecinta seni tekstil dari Jepang, Eropa, hingga Amerika datang langsung ke Lasem untuk belajar teknik membatik dan memahami filosofi di baliknya. Pameran batik di berbagai negara menempatkan Batik Lasem sebagai salah satu warisan budaya Indonesia yang paling autentik dan bernilai tinggi.
Desainer muda Indonesia pun mulai melirik keindahan Batik Lasem untuk koleksi busana modern. Mereka memadukan motif klasik dengan potongan kontemporer, menciptakan gaya yang elegan dan berkarakter. Warna merah Lasem yang kuat menjadi aksen menarik dalam berbagai rancangan, mulai dari kebaya hingga pakaian kasual.
Meski mendapat pengakuan luas, tantangan pelestarian Batik Lasem tetap besar. Generasi muda di Lasem banyak yang memilih pekerjaan lain, meninggalkan tradisi membatik yang dianggap melelahkan dan memerlukan waktu panjang. Namun, beberapa komunitas dan lembaga budaya terus berusaha menumbuhkan minat baru.
Program pelatihan batik untuk anak muda kini digalakkan di berbagai desa. Pemerintah daerah juga aktif mengadakan festival batik dan lomba desain untuk menghidupkan kembali semangat berkarya. Selain itu, digitalisasi dan promosi daring membantu memperkenalkan Batik Lasem ke pasar global tanpa harus meninggalkan akar tradisinya.
Salah satu contoh inspiratif datang dari Batik Tulis Sekar Bengawan, sebuah usaha keluarga di Lasem yang dikelola generasi muda. Mereka tetap mempertahankan teknik tradisional, namun berani berinovasi dalam motif dan kemasan. Hasilnya, batik mereka kini diminati pembeli dari luar negeri.
Batik Lasem bukan sekadar kain berhias indah, melainkan kisah panjang tentang perjumpaan dua budaya yang saling menghormati. Dari tangan-tangan halus para pembatik, lahir karya seni yang mengandung filosofi, sejarah, dan harapan. Warna merahnya menyala seperti semangat yang tak pernah padam, menjadi simbol keberanian dan kebersamaan.
Di tengah dunia yang terus berubah, Batik Lasem mengingatkan kita bahwa harmoni bukan berarti menyeragamkan, tetapi merayakan perbedaan. Selama masih ada yang mencintai keindahan dan menghargai akar budaya, Batik Lasem akan terus hidup—menjadi saksi betapa kuatnya persaudaraan yang terjalin di antara Jawa dan Tionghoa, di atas selembar kain yang abadi.