
Perjalanan ke Anyer selalu jadi pilihan klasik bagi warga Jakarta yang ingin kabur sejenak dari hiruk-pikuk kota. Hanya butuh tiga sampai empat jam perjalanan darat, deru mobil di tol Jakarta–Merak perlahan berganti dengan suara ombak dan aroma laut yang khas. Jalur Pantai Anyer menawarkan pengalaman lengkap—dari panorama gunung yang megah hingga budaya pesisir yang hangat. Kali ini, perjalanan saya berlanjut hingga ke Pantai Carita dan Pulau Manuk, tempat di mana keindahan alam berpadu dengan keramahan penduduk lokal.
Pagi itu, saya berangkat dari Jakarta selepas subuh. Jalanan masih lengang, lampu kota perlahan meredup digantikan cahaya jingga di langit timur. Setelah menembus tol Serang Timur, suasana berubah. Pemandangan sawah, kebun kelapa, dan perkampungan mulai menyambut. Udara terasa segar, seperti pengingat bahwa kita memang perlu sesekali melambat.
Begitu melewati jalan utama menuju Anyer, aroma asin laut langsung tercium. Di sisi kanan, birunya Samudra Hindia membentang luas. Di sisi kiri, Gunung Karang berdiri gagah, menambah kontras yang menawan. Beberapa kali saya berhenti di tepi jalan hanya untuk menikmati angin dan mengambil foto. Di sinilah sensasi “road trip” terasa sesungguhnya—setiap tikungan menyimpan kejutan baru.
Pantai Anyer memang legendaris. Dari zaman Belanda hingga sekarang, tempat ini selalu jadi favorit liburan warga Jabodetabek. Tiket masuknya juga ramah di kantong, sekitar Rp15.000–Rp20.000 per orang, tergantung pantainya.
Saya memilih berhenti di Pantai Sambolo, salah satu spot populer dengan garis pantai panjang dan ombak tenang. Banyak keluarga dan anak muda bermain banana boat atau sekadar duduk menikmati kelapa muda. Di warung tepi pantai, saya memesan ikan bakar bumbu kecap dan nasi liwet, semuanya baru saja diangkat dari panggangan. Harga satu porsi ikan bakar lengkap hanya sekitar Rp30.000–Rp40.000. Rasanya? Luar biasa segar.
Sambil makan, seorang bapak nelayan duduk di dekat saya dan mulai bercerita. Ia sudah melaut sejak remaja, dan kini sering membantu wisatawan naik perahu kecil untuk melihat mercusuar Anyer dari dekat. “Kalau mau lihat sunset bagus, naik ke mercusuar sore-sore,” ujarnya. Saya pun mencatatnya untuk sore nanti.
Sekitar 30 menit berkendara dari Anyer, saya tiba di Pantai Carita, bagian dari pesisir Pandeglang yang terkenal dengan laut jernih dan pemandangan Gunung Krakatau di kejauhan. Tiket masuknya sedikit lebih mahal, sekitar Rp25.000 per orang, tapi sepadan dengan keindahan yang ditawarkan.
Di sini, saya mencoba snorkeling sederhana di tepi pantai. Airnya cukup tenang dan jernih. Tak jauh dari bibir pantai, terlihat ikan-ikan kecil bersembunyi di balik karang dangkal. Beberapa wisatawan menyewa banana boat atau jetski. Sewa jetski sekitar Rp150.000 untuk 15 menit, sementara banana boat hanya Rp50.000 per orang.
Selesai bermain air, saya mampir ke warung “Bu Entin Seafood”, salah satu tempat makan legendaris di Carita. Menu favoritnya udang saus padang dan cumicumi goreng tepung. Harga per porsi mulai Rp40.000–Rp60.000, tapi porsinya besar dan cocok untuk dua orang. Saya makan sambil menikmati semilir angin laut, ditemani suara musik dangdut pelan dari radio warung.
Bagi yang ingin menginap, banyak pilihan penginapan dengan harga bersahabat. Saya memilih Carita Asri Villas, sebuah penginapan sederhana namun nyaman, hanya 200 meter dari pantai. Tarifnya Rp250.000 per malam, sudah termasuk AC, TV, dan kamar mandi dalam. Dari balkon, suara deburan ombak terdengar jelas.
Alternatif lain, ada juga Anyer Cottage dan Marbella Hotel untuk yang ingin sedikit lebih mewah. Tapi buat anak muda dengan budget terbatas, penginapan lokal di sekitar Pantai Carita dan Anyer sudah cukup memuaskan. Beberapa bahkan menyediakan area barbeque malam hari, cocok untuk nongkrong sambil menikmati bintang.
Keesokan harinya, saya diajak seorang nelayan menyeberang ke Pulau Manuk, sekitar 1 jam perjalanan dengan perahu motor dari Carita. Biaya sewa perahu sekitar Rp400.000–Rp500.000 untuk rombongan empat orang. Meski perjalanan agak bergoyang karena ombak, semua terbayar saat tiba di pulau kecil itu.
Pulau Manuk dikenal sebagai tempat persinggahan burung laut dan spot snorkeling alami. Pantainya berpasir putih lembut, sementara air lautnya sebening kaca. Saat matahari mulai naik, langit dan laut berpadu dalam gradasi biru sempurna. Saya duduk di batu karang sambil menunggu sunrise. Begitu matahari muncul dari ufuk timur, cahayanya memantul di permukaan laut, menciptakan pemandangan yang sulit dilupakan.
Selain alamnya, yang membuat perjalanan ini berkesan adalah keramahan penduduk lokal. Di sebuah warung di kampung nelayan dekat Pantai Carita, saya disuguhi kopi tubruk panas dan pisang goreng. Ibu warung bercerita tentang tradisi nelayan yang masih rutin menggelar “ruwatan laut” setiap tahun, bentuk syukur atas hasil tangkapan dan keselamatan di laut.
Saya juga sempat ikut ngobrol dengan anak muda setempat yang sedang berlatih musik tradisional di bale-bale bambu. Mereka memainkan kentongan dan rebana, menciptakan irama khas pesisir. “Kita pengin anak-anak muda tetap kenal budaya kampung sendiri,” kata salah satu dari mereka.
Sore menjelang, saya kembali ke mobil dan mulai perjalanan pulang ke Jakarta. Jalanan menurun dengan pemandangan laut di kejauhan, membuat saya menekan rem pelan sambil tersenyum. Jalur pantai Anyer–Carita memang bukan hanya sekadar destinasi liburan. Ia adalah perjalanan penuh warna—tentang laut yang luas, gunung yang megah, dan manusia-manusia hangat di antaranya.
Dengan modal di bawah Rp500.000, kita bisa menikmati laut, kuliner, dan budaya pesisir yang autentik. Bagi anak muda yang haus petualangan singkat, perjalanan ke Anyer dan Carita adalah pilihan sempurna: dekat, murah, tapi penuh cerita. Saat kembali ke kota, yang tertinggal bukan hanya foto-foto indah, tapi juga rasa damai yang jarang ditemukan di tengah bisingnya Jakarta.